Oleh:
Khaidir Syafrie Nasution*
Tak
ada bukti tertulis tentang asal usul orang Tanah Ulu. Literatur yang
memuat tentang keberadaan suku yang sekarang mendiami Kecamatan
Muarasipongi, Mandailing Natal ini juga sangat terbatas. Sebuah buku
yang ditulis oleh Supriati, MC, Zuraida Tanjung, dan Sutan Harahap
dan diterbitkan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan pada 1998 dengan
judul Kehidupan Masyarakat di Daerah Perbatasan, walau
mengupas tentang orang Tanah Ulu tetapi tidak komprehensif. Lebih
kepada kondisi sosial masyarakat perbatasan.
Satu-satunya
informasi tentang asal usul atau sejarah Tanah Ulu adalah bersumber
dari cerita lisan yang dituturkan oleh orang-orang tua. Sebuah buku
sejarah Tanah Ulu yang ditulis oleh Datuk Rimambak pada awal tahun
1970-an juga bersumber dari cerita-cerita lisan ini. Naskah lisan ini
kemudian menjadi sumber satu-satunya yang menjadi acuan bagi generasi
muda Tanah Ulu untuk mengetahui tentang sejarah suku dan para
leluhurnya. Apa boleh buat…!
Demikian
pula peninggalan sejarah berupa artefak atau benda-benda purbakala
juga tidak ada. Rumah Gedag (rumah adat), walau pernah ada,
tetapi sekarang sudah tidak bisa dijumpai lagi. Jika pun ada sudah
seperti benda duplikat, sudah mengalami modifikasi sesuai kemajuan
jaman. Praktis, sejarah Tanah Ulu merupakan sebuah lorong gelap, di
mana kita hanya dapat meraba-raba tanpa bisa memastikan alurnya.
Sebuah
Hipotesa
Berkembang cerita bahwa suku Tanah Ulu berasal dari daerah Jambi.
Konon, konflik di Kerajaan Melayu membuat sebagian warganya, termasuk
nenek moyang orang Tanah Ulu, hengkang meninggalkan kampung
halamannya mencari daerah baru untuk bermukim. Dipimpin oleh enam
orang tetua adat, atau disebut Besa Borenum, para pengungsi
ini kemudian menjelajahi belantara Sumatera menuju arah Utara
melewati Riau, dan akhir mendarat di kawasan Tanah Ulu yang kita
kenal sekarang ini. Menurut kisah yang dikutip Adhop Lubis dalam
blognya, nenek moyang kita memerlukan waktu 100 tahun untuk
mencapai kawasan yang mereka beri nama Tanah Ulu itu.
Namun
di samping cerita di atas, ada sebuah hipotesa menarik tentang
sejarah asal-usul orang Tanah Ulu ini. Walau tidak secara spesifik
mengacu kepada orang Tanah Ulu, dalam bukunya yang berjudul, Tuanku
Rao, Onggang Parlindungan Siregar menulis, bahwa pada sekitar
abad 6 M, ketika migrasi besar-besaran marga Lubis dari kawasan Toba
ke Mandailing, di daerah Batang Toru dan Batang Natal, mereka sempat
“menghalau” suatu kelompok suku proto Melayu. Kelompok ini yang
ia beri nama suku Lubu kemudian melarikan diri dan bersembunyi di
pegunungan di sekitar Muarasipongi.Tulisan Onggang Parlindungan
Siregar ini cukup menarik. Walaupun tidak didukung bukti-bukti yang
valid, paling tidak, dapat memantik imajinasi untuk melihat sisi lain
sejarah asal usul orang Tanah Ulu di luar yang selama ini berkembang.
Bertitik
tolak dari tulisan Onggang Parlindungan, bisa kita tarik suatu
hipotesa bahwa bisa saja yang dihalau migrasi kelompok marga Lubis
itu adalah suku Tanah Ulu. Ini bisa disimpulkan dari pelarian mereka
yang berakhir di pegunungan di sekitar Muarasipongi. Dan jangan
salah, kampung-kampung tempat pemukiman orang Tanah Ulu awalnya juga
didirikan di pegunungan. Kalau dicermati lebih jauh, proses pelarian
orang-orang Lubu ini (meminjam istilah Onggang Parlindungan), pun
mengikuti alur sungai menuju hulu, sebagaimana kebiasaan yang
dilakukan oleh suku-suku tradisional di masa lalu. Dalam hal ini
Sungai Batang Gadis adalah sungai yang menjadi patokan arah pelarian
mereka dari arah Batang Natal menuju hulu. Namun tak semau mereka
sampai di Muarasipongi, sebagian dari “pelarian” ini bahkan
mendarat di Panyabungan dan menjadi orang Siladang. Dan satu hal
lagi, kita tak pernah mengenal adanya suku Lubu di Muarasipongi, jadi
jangan-jangan yang dimaksud Onggang Parlindungan dengan Suku Lubu itu
adalah Suku Tanah Ulu ?
Jadi,
sesuai hipotesa ini, bisa pula disimpulkan (walau sementara) bahwa,
orang Tanah Ulu berasal dari pegunungan di sekitar Batang Natal dan
sudah berhubungan dengan penduduk pantai. Memang tak ada bukti
konkret untuk mendukung hipotesa ini, namun terdapat beberapa istilah
dalam tradisi lama orang Tanah Ulu yang bisa dikaitkan dengan daerah
Batang Natal atau daerah yang dekat dengan pantai. Pertama;
Gunung Sidoa-doa (ditebakke ontu kutu ko gunung Sidoa-doa. Tor
Sidoar-doar terdapat di Batang Natal); Kedua; Bajou, ebuk
panjak pere bajou (suku Bajau adalah suku laut yang terdapat
hampir di seluruh pesisir nusantara dan suka berambut panjang),
Ketiga; Turut engko nak turut, bapakm pulak de bolaie (
bolaie=berlayar). Istilah-istilah di atas tentu hanya bisa diketahui
oleh orang yang kesehariannya pernah dekat dengan objek yang
bersangkutan.
Menurut
blog Proto Malayan, Suku Tanah Ulu merupakan bagian dari
kelompok suku Melayu Tua yang sudah sejak abad 2 mendarat di Pulau
Sumatera. Di antara kelompok suku ini terdapat suku-suku sepert,i
Ogan, Nias, Rao, Batak, Dairi, dan beberapa suku bangsa di Taiwan dan
Filipina. Namun, dalam artikel yang dimuat blog Proto Malayan,
yang mereka maksudkan dengan Suku Ulu, hanyalah penduduk yang
mendiami Desa Sibinai dan Tomiang Mudo, Kecamatan Muarasipongi. Dalam
blog ini juga dinyatakan bahwa tiga kelompok suku (marga)
orang Tanah Ulu, masing-masing, Pungkik, Mondoilig, dan Kandag Kepuh
adalah suku tersendiri, tidak menjadi bagian dari Suku Tanah Ulu.
Satu
informasi yang juga cukup menarik adalah ternyata di kalangan
masyarakat Rao juga dikenal tiga kelompok suku Pungkik, Mondoilig,
dan Kandag Kepuh. Namun, berbeda dengan status yang dikenal di Tanah
Ulu, di daerah Rao ketiga kelompok suku tadi masing-masing merupakan
bentuk kasta. Kandang Kapuoh (Kandag Kepuh) merupakan kasta
ksatria, Mandailing (Mondoilig) kasta Waisya, dan Pungkut
(Pungkik) kasta sudra. Menurut para orang tua di sana,
sebagaimana dikutip salah satu situs, pengkastaan ini merupakan
pengaruh Hindu yang pernah eksis di wilayah Rao, Pasaman di masa
lalu. Sebagian kalangan di Rao bahkan berpendapat bahwa orang
Mandailing berasal dari Rao, yakni keturunan kasta Mandailing Rao
yang bermigrasi ke Utara.
Prolog
Karena
tidak didukung bukti-bukti konkret, sejarah tentang asal-usul orang
Tanah Ulu memang tak akan pernah tuntas. Walau begitu, bukan berarti
kita harus menafikannya. Sedikit informasi akan sangat berarti.
Ibarat menyusun sebuah puzzle dari berbagai kepingan gambar
yang berserak dan tidak utuh, begitulah sejarah tentang orang kita.
Sejarah masa lalu memang penting, tetapi membuat sejarah di masa
sekarang untuk masa depan jauh lebih penting. Karena itu, kita tak
bisa menarik sebuah garis putus atas sebuah kisah sejarah Tanah Ulu
yang sudah diupayakan oleh beberapa penulis, termasuk orang-orang tua
kita terdahulu. Kedepan kita harus banyak belajar dan mencari
informasi perihal sejarah bangsa Tanah Ulu yang memang masih buram.
Tulisan
ini bukanlah kebenaran, hanya sekeping puzzle yang ingin
dipersembahkan kepada generasi muda Tanah Ulu. Siapa tahu kelak di
kemudian hari kepingan-kepingan puzzle yang dikumpulkan akan
dapat dirangkai menjadi sebuah sejarah yang valid dan faktual.
*Penulis
adalah wartawan, peminat masalah sosial dan budaya berdomisili di
Jakarta
Khan_power84@yahoo.co.id
:cool
ReplyDeleteTorimo Kasih Yo Bang Khaidir... sokecik banyaknyo awak oso asal usul ninik muyang awak.
ReplyDelete😊
ReplyDelete