Web kito urak Tanah Ulu

Powered by Blogger.

Blogger news

Slider Top

[5] [recent] [slider-top-big] [Slider Top]
You are here: Home / , , , Tanah Ulu, Luat Penting di Tepi Sejarah

Tanah Ulu, Luat Penting di Tepi Sejarah

| No comment
Oleh: Khaidir Mondoilig*
Bung Karno pernah menginjakkan kaki di sini. Di masa kolonial, daerah yang terjepit di celah gugusan Bukit Barisan ini dikenal sebagai salah satu penghasil kopi Mandailing yang terkenal itu.
Tanah Ulu ? Tak ada dalam peta Kabupaten Mandailing Natal (Madina). Namun, jika kita melongok ke masa silam, daerah yang terletak di perbatasan Provinsi Sumatera Utara dan Sumatera Barat itu cukup punya nama. Di masa itu, ketika pemerintah Hindia Belanda masih menguasai negeri ini, Tanah Ulu dijadikan salah satu basis ekonomi penting di kawasan keresidenan Tapanuli yang meliputi juga Mandailing dan Angkola.


Foto Raja-raja Mandailing 1930 (berdiri nomor 4 dari sebelah kanan adalah Kepala Kuria Oeloe Kampung Pinang)



Untuk mendukung itu, di Tanah Ulu pun ditempatkan seorang Kepala Kuria (afdeeling) yang mewakili pemerintah kolonial Belanda. Di Muarasipongi, yang ketika itu menjadi “kota” penting di Luat Tanah Ulu didirikan gudang-gudang untuk menampung kopi hasil perkebunan tanam paksa (cultuurstelsel) di daerah ini dan Luat Pakantan. Konon, di masa itu, seorang kepala gudang kopi sudah mendapat gaji sekitar 20 – 25 gulden (Godon).
Perhatian yang sangat besar dari pemerintah Hindia Belanda juga terlihat pada sektor-sektor lainnya. Di bidang pertambangan misalnya. Di sektor yang satu ini, Tanah Ulu yang dikelilingi pegunungan ternyata menyimpan harta karun berupa kandungan emas. Oleh para penjajah ini kemudian dibukalah sejumlah tambang emas di beberapa tempat di Luat Tanah Ulu.Di antara tambang-tambang emas itu terdapat nama Subun Subun, Tambang Dingin dan lain-lain.
Banjir emas dan kopi ini kelak menjadikan daerah ini menjadi salah satu sentra ekonomi penting (pasar) yang menghubungkan antara Tapanuli dan Sumatera Barat. Beberapa tahun belakangan bekas tambang Belanda ini kembali dibuka oleh masyarakat secara tradisional.
Mengingat pentingnya daerah ini, setelah Perang Paderi, pemerintah Hindia Belanda mendirikan sekolah rakyat pertama di Muarasipongi. Pendirian sekolah ini adalah merupakan bagian dari rangkaian pendirian empat unit sekolah di Tapanuli bagian Selatan, setelah sebelumnya sekolah serupa didirikan di Padangsidimpuan, Panyabungan, dan Kotanopan.
Sekolah yang didirikan di Muarasipongi ini tergolong istimewa. Ini bisa dilihat dari nama beberapa guru yang pernah mengajar di sini. Tercatat nama, Muhammad Kasim Dalimunthe, seorang sastrawan pelopor Pujangga Baru pernah mengajar di sekolah, yang sekarang menjadi SD Negeri I Muarasipongi itu. Nama lain adalah, Sutan Pangurabaan Pane, pendiri Perusahaan Bus Sibualbuali, sekaligus ayah dari sastrawan terkenal Sanusi Pane dan Armijn Pane, serta Lafran Pane, pendiri organisasi mahasiswa paling berpengaruh di Indonesia, yakni, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).
Sementara itu, dua murid langsung Willem Iskander, tokoh pendidikan Mandailing, juga pernah mengajar di sekolah ini, yakni; Si Gumba Arun dan Si mangantar Gelar Raja Baginda. (Basyral, Madina yang Madani, 2004).
Semenjak itu pulalah, Muarasipongi, sebagai pusat pemerintahan kolonial menjadi sangat terkenal. Pada masa revolusi kemerdekaan Republik Indonesia, Luat Tanah Ulu pernah dikunjungi oleh Presiden Soekarno. Saat itu dalam perjalanan dari Tapanuli menuju Sumatera Tengah, Bung Karno dan rombongan dilepas oleh Gubernur Sumatera, Teuku Muhammad Hasan dan Residen Tapanuli, Ferdinand Lumbantobing di Ranjo Batu, sebuah dusun kecil di perbatasan Tanah Ulu dan Sumatera Barat.
Seiring perjalanan waktu, nama Tanah Ulu pun kian redup. Nama Muarasipongi, sebagai pusat pemerintahan menjadi lebih dikenal. Apalagi ketika nama kota yang terletak di muara Aek Sipongi itu resmi ditabalkan menjadi nama kecamatan yang melingkupi seluruh Luat tanah Ulu. (dari berbagai sumber)
*Artikel ini pernah dimuat di salah satu media yang terbit di Jakarta