Oleh: Khaidir Mondoilig*
Bung Karno
pernah menginjakkan kaki di sini. Di masa kolonial, daerah yang
terjepit di celah gugusan Bukit Barisan ini dikenal sebagai salah
satu penghasil kopi Mandailing yang terkenal itu.
Tanah
Ulu ? Tak ada dalam peta Kabupaten Mandailing Natal (Madina). Namun,
jika kita melongok ke masa silam, daerah yang terletak di perbatasan
Provinsi Sumatera Utara dan Sumatera Barat itu cukup punya nama. Di
masa itu, ketika pemerintah Hindia Belanda masih menguasai negeri
ini, Tanah Ulu dijadikan salah satu basis ekonomi penting di kawasan
keresidenan Tapanuli yang meliputi juga Mandailing dan Angkola.
Untuk
mendukung itu, di Tanah Ulu pun ditempatkan seorang Kepala Kuria
(afdeeling) yang mewakili pemerintah kolonial Belanda. Di
Muarasipongi, yang ketika itu menjadi “kota” penting di Luat
Tanah Ulu didirikan gudang-gudang untuk menampung kopi hasil
perkebunan tanam paksa (cultuurstelsel) di daerah ini dan Luat
Pakantan. Konon, di masa itu, seorang kepala gudang kopi sudah
mendapat gaji sekitar 20 – 25 gulden (Godon).
Perhatian
yang sangat besar dari pemerintah Hindia Belanda juga terlihat pada
sektor-sektor lainnya. Di bidang pertambangan misalnya. Di sektor
yang satu ini, Tanah Ulu yang dikelilingi pegunungan ternyata
menyimpan harta karun berupa kandungan emas. Oleh para penjajah ini
kemudian dibukalah sejumlah tambang emas di beberapa tempat di Luat
Tanah Ulu.Di antara tambang-tambang emas itu terdapat nama Subun
Subun, Tambang Dingin dan lain-lain.
Banjir
emas dan kopi ini kelak menjadikan daerah ini menjadi salah satu
sentra ekonomi penting (pasar) yang menghubungkan antara Tapanuli dan
Sumatera Barat. Beberapa tahun belakangan bekas tambang Belanda ini
kembali dibuka oleh masyarakat secara tradisional.
Mengingat
pentingnya daerah ini, setelah Perang Paderi, pemerintah Hindia
Belanda mendirikan sekolah rakyat pertama di Muarasipongi. Pendirian
sekolah ini adalah merupakan bagian dari rangkaian pendirian empat
unit sekolah di Tapanuli bagian Selatan, setelah sebelumnya sekolah
serupa didirikan di Padangsidimpuan, Panyabungan, dan Kotanopan.
Sekolah
yang didirikan di Muarasipongi ini tergolong istimewa. Ini bisa
dilihat dari nama beberapa guru yang pernah mengajar di sini.
Tercatat nama, Muhammad Kasim Dalimunthe, seorang sastrawan pelopor
Pujangga Baru pernah mengajar di sekolah, yang sekarang menjadi SD
Negeri I Muarasipongi itu. Nama lain adalah, Sutan Pangurabaan
Pane, pendiri Perusahaan Bus Sibualbuali, sekaligus ayah dari
sastrawan terkenal Sanusi Pane dan Armijn Pane, serta Lafran Pane,
pendiri organisasi mahasiswa paling berpengaruh di Indonesia, yakni,
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).
Sementara
itu, dua murid langsung Willem Iskander, tokoh pendidikan Mandailing,
juga pernah mengajar di sekolah ini, yakni; Si Gumba Arun dan Si
mangantar Gelar Raja Baginda. (Basyral, Madina yang Madani, 2004).
Semenjak
itu pulalah, Muarasipongi, sebagai pusat pemerintahan kolonial
menjadi sangat terkenal. Pada masa revolusi kemerdekaan Republik
Indonesia, Luat Tanah Ulu pernah dikunjungi oleh Presiden
Soekarno. Saat itu dalam perjalanan dari Tapanuli menuju Sumatera
Tengah, Bung Karno dan rombongan dilepas oleh Gubernur Sumatera,
Teuku Muhammad Hasan dan Residen Tapanuli, Ferdinand Lumbantobing di
Ranjo Batu, sebuah dusun kecil di perbatasan Tanah Ulu dan Sumatera
Barat.
Seiring
perjalanan waktu, nama Tanah Ulu pun kian redup. Nama Muarasipongi,
sebagai pusat pemerintahan menjadi lebih dikenal. Apalagi ketika nama
kota yang terletak di muara Aek Sipongi itu resmi ditabalkan menjadi
nama kecamatan yang melingkupi seluruh Luat tanah Ulu. (dari
berbagai sumber)
*Artikel
ini pernah dimuat di salah satu media yang terbit di Jakarta